Selasa, 20 Oktober 2015

Pendidikan Karakter

A.    Penjelasan Pendidikan karakter
1.      Pengertian Pendidikan karakter
Karakter  merupakan  nilai-nilai  perilaku  manusia  yang  berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Sudrajat (2011:15) mengemukakan bahwa karakter berasal dari akar kata bahasa latin  yang  berarti  di  pahat.  Sebuah  kehidupan  seperti  sebuah  blok granit yang dengan hati-hati dipahat ataupun dipukul secara sembarangan yang pada  akhirny menjadi  sebuah  mahakarya  atau  puing-puing   yang  rusak. Karakter gabungan dari kebijakan dan nilai-nilai yang dipahat di dalam batu hidup tersebut, akan menyatakan nilai yang sebenarnya.
Secara harfiah karakter artinya, Kualitas  mental  atau  moral, kekuatan moral,   nama   atau   reputasi”  Menurut   kamus   lengkap   bahasa  indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian(Munir, 2010:81)
Pendidikan  karakter  menurut  Ratna  Megawati  adalah  sebuah usaha  untuk  mendidik  anak-anak  agar  dapat  mengambil  keputusan dengan  bijak  dan  mempraktikannya  dalam  kehidupan  sehari-hari.
Menurut kemendiknas, pendidikan karakter adalah pendidikan yang  mengembangkan  nilai-nilai  karakter  bangsa  pada  diri  peserta didik,  sehingga  mereka  memiliki  nilai  dan  karakter  sebagai  karakter dirinya,  menerapkan  nilai-nilai  tersebut  dalam  kehidupan  dirinya, sebagai  anggota  masyarakat,  dan  warga  negara  yang  religius, nasionalis, produktif, dan kreatif. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah usaha  dan  proses  untuk  membentuk  manusia  yang  memiliki  karakter atau  nilai  sebagai  ciri  atau  karakteristik  individu  masing-masing. Dengan  adanya  pendidikan  karakter  yang  diterapkan  di  Negara  ini, maka  akan  mencetak  individu  yang  bermoral,  berkepribadian,  dan bermartabat  melalui  pendekatan  yang  biologis  –  psikologis  dan sosiologis.
2.      Unsur-unsur Karakter
Sepuluh  unsur  kebajikan  utama  karakter  (cardinal   virtues)  menurut Suparlan sebagai berikut.
1. Kebijaksanaan                                               6. Sikap positif
2. Keadilan                                                        7. Kerja keras
3. Ketabahan                                                     8. Integritas
4. Pengendalian diri                                          9. Syukur
5. Kasih                                                           10. Kerendahan hati


3.   Pilar Penting  Karakter Manusia
Ada enam karakter utama (pilar karakter) pada diri manusia yang dapat digunakan untuk mengukur dan menilai watak dan perilakunya dalam hal-hal khusus.  Fathul Mu’in  (Barnawi  2012:27)  menyatakan  keenam  pilar  karakter tersebut adalah sebagai berikut.
1. Penghormatan
2. Tanggung jawab
3. Kesadaran berwarga Negara
4. Keadilan dan kejujuran
5. Kepedulian dan kemauan berbagi
6. Kepercayaan
B.     Penjelasan  Kejujuran
Jujur   jika   diartika secara   baku   adalah   "mengakui,   berkata   atau memberikan  suatu  informasi  yang sesuai  kenyataan  dan  kebenaran".  Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap  atau dinilai tidak jujur,  menipu,  mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.
Banyak sekali pandangan mengenai pengertian kejujuran. Jujur diartikan sebagai ketulusan hati untuk tidak curang terhadap diri sendiri dan tidak curang terhadap oranglain. Kejujuran merupakan keselaranan antara kata hati dan kata yang diucapkan, antara kata yang diucapkan dan sikap serta perbuatan nyata. Orang yang jujur adalah orang yang dengan sadar, mau dan rela untuk mengakui segala sesuatu yang terjadi, sesuai dengan realita yang ada.
Kejujuran terletak dalam multi dimensi, artinya bahwa kejujuran tidak terletak hanya dalam satu dimensi, tetapi ada dalam banyak sekali dimensi, bahkan mungkin semua dimensi kehidupan manusia. Jujur, adalah sikap pribadi. Jujur diekspresikan dengan kata-kata atau sikap yang mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Tidak ditutupi atau bahkan tidak menipu.
Jujur, adalah sikap pribadi. Jujur diekspresikan dengan kata-kata atau sikap yang mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Tidak ditutupi atau bahkan tidak menipu.
Alasan orang harus jujur yaitu :
1.      kemungkinan terjadi kesalahpahaman
2.      kemungkinan menghindar secara emosional
3.       kemungkinan menyakiti perasaan orang lain yang sebenarnya tidak perlu kita lakukan
4.      kemungkinan membuang-buang waktu dan energi mental dengan percuma
Menurut  Iman  Abdul  Mukmin  Sa’adudin  menyatakan  bahwa jujur mempunyai beberapa bentuk, diantaranya:
1.      Jujur  pada  diri  sendiri.  Disebut  juga  jujur  dalam  keputusan. Seorang  muslim  jika  memutuskan  sesuatu  yang  harus dikerjakan,  hendaklah  tidak  ragu-ragu  meneruskannya  hingga selesai. Akan  tetapi  banyak  orang  muslim  jika  dituntut  jihad, mereka begitu malas untuk maju. Demikian pula jika diminta untuk  mengeluarkan  zakat  mereka  enggan  dan  mengeluh. Padahal  itu  semua  bukan  bagian  dari  sifat  orang  mukmin. Rasulullah SAW bersabda: “orang mukmin itu bertabiat semua sifat selain khianat dan dusta”.
2.      Jujur  dalam  berkata.  Seorang  muslim  tidak  berkata  kecuali jujur.  Rasulullah  SAW  bersabda:  “Tanda  orang  munafik  itu tiga;  jika  bicara  ia  berdusta,  jika  berjanji  ia  mengingkari  dan jika  diberi  amanah  ia  berkhianat”.   Karena  itu  Allah  SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada  Allah  dan  katakanlah  perkataan  yang  benar”  (QS.  33: 70).
3.      Jujur  dalam  berjanji.  Seorang  muslim  apabila  menjanjikan sesuatu hendaklah memenuhinya. Jika tidak, ia termasuk orang yang  munafik.
Diantara  janji  itu  ada  janji  kepada  anak-anak. Islam mengajarkan agar bersikap jujur kepada anak-anak, agar setelah dewasa mereka akan tumbuh menjadi orang yang jujur dan berkata serta berbuat jujur.
4.      Jujur  dalam  usaha.  Seorang  muslim  apabila  menjalin  usaha dengan  sesorang  hendaklah  bersikap  jujur,  tidak  menipu  dan tidak curang. Jujur dalam usaha dapat memberikan keberkahan dalam  rizki  yang  ia  peroleh.  Jujur  merupakan  modal  utama dalam usaha apapun bentuknya usaha tersebut
Ada beberapa hal yang dapat mendorong terbentuknya sifat jujur, antara lain:
a.       Membiasakan berbicara sesuai dengan perbuatan.
b.      Mengakui kebenaran orang lain dan mengakui pula kesalahan diri sendiri jika memang bersalah.
c.       Selalu mengingat bahwa semua perbuatan manusia dilihat oleh Allah SWT.
d.      Meyakini  bahwa  kejujuran  mengantarkan  manusia  kejenjang derajat yang terhormat.
e.       Berlaku bijaksana sesuai dengan aturan hukum.

Dampak Kejujuran
Pembentukan sikap menurut Dayaksini dan Hudaniah (2003) merupakan hasil interaksi dengan lingkungan. Sikap kejujuran sangat penting dalam kehidupan kita karena melalui kejujuran kita dapat diterima oleh lingkungan sekitar serta disenangi oleh orang banyak. Selain itu, dampak yang paling nyata yang dapat kita rasakan adalah adanya rasa menghargai dari orang lain kepada kita. Saat kita merasakan dampak timbul dari kejujuran, kita pasti akan merasa sangat nyaman dengan kehidupan kita walaupun terkadang sulit untuk mempertahankan kejujuran.
  1. Kaitan kejujuran dengan kehidupan social
Kejujuran harus diterapkan di lingkungan sekitar kita. Kehidupan akan menjadi lebih harmonis apabila kita dapat menerapkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Menerapkan kejujuran harus disertai dengan kepercaayaan diri yang tinggi karena kita akan menjadi lebih jujur dengan kepercayaan diri. Hal-hal yang dapat mempengaruhi kejujuran seseorang adalah lingkungan sekitar seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat.
  1. Keluarga.
Keluarga merupakan bagian terkecil dalam bidang kehidupan. Saat kita bertumbuh, semuanya berawal dari lingkungan keluarga. Kejujuran di dalam keluarga sangat dibutuhkan teutama untuk menjaga keharmonisan keluarga. Menurut Dwiputra (2011) Hal terpenting dalam kejujuran di lingkungan keluarga adalah orangtua perlu menyampaikan dan mencontohkan berbagai perilaku yang menunjukkan kejujuran dan integritas secara jelas sehingga anak dapat mengambil patokan dalam menilai perilaku yang baik dan yang buruk.

  1. Sekolah. 
Menurut Berns (2010) sekolah adalah agen dari sosialisasi. Sekolah mengatur intelektual dan pengalaman social dari seorang anak. Lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang rentan dengan ketidakjujuran. Selain ketidakjujuran, di dalam lingkungan sekolah kita juga belajar untuk bersikap jujur melalui peraturan yang diterapkan oleh sekolah. Kita dapat belajar menjadi disiplin dan jujur dalam berperilaku bila kita memiliki komitmen yang dibentuk saat berada dalam lingkungan sekolah. Melalui komitmen yang kuat untuk selalu jujur yang dimulai dari lingkungan sekolah di masa yang akan datang akan menciptakan lingkungan yang harmonis dan mengurangi kelakuan-kelakuan negatif seperti korupsi.
  1. Masyarakat.
Menurut “Pengertian Masyarakat, Unsur Dan Kriteria Masyarakat Dalam Kehidupan Sosial Antar Manusia” (2008) Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesama. Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, keinginan, manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Melalui adanya interaksi dengan sesama, maka perlu adanya hubungan yang dibina dengan harmonis. Kejujuran adalah hal yang sangat penting dalam hubungan dengan sesama. Hasanah dan Adhim (2012) mengatakaan bahwa seseorang berbuat tidak jujur sebagai mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), baik dari rasa malu atau sebagainya. Selain itu seseorang berbuat tidak jujur karena ingin mendapatkan penilaian atau apresiasi yang melebihi keadaan dia sesungguhnya.




D.    Kisah Nyata Orang Jujur
Mohammad Hatta mengembalikan uang negara sisa perawatan kesehatan.
Pasien itu tergolek di atas dipan. Ini di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Stroke menjepit syaraf. Menghambat seluruh aliran tenaga. Dia agak susah bergerak. Dan itulah sebabnya anak dan istrinya melarikan dia ke rumah sakit itu.
Itu tahun 1963. Dan lelaki di atas dipan ini adalah Bung Hatta. Lelaki yang sudah seperti nama belakang  Soekarno. Dwitunggal yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, yang namanya selalu dibacakan tiap 17 Agustus.
Pada tahun-tahun itu, faslitas di rumah sakit itu belum lah seperti hari ini.  Penyakit Bung Hatta tak bisa ditaklukkan di situ. Harus diterbangkan ke luar negeri. Para dokter menganjurkan dia terbang ke kota Stockholm di Swedia, negeri yang masuk dalam tujuh negara dengan fasilitas kesehatan terbaik dunia, dan para lelakinya punya harapan hidup hingga usia hampir 80 tahun. Keluarga juga setuju.
Tapi bagaimana memikul biaya di negeri yang jauh itu.  Bung Hatta bukan lagi pejabat negara.  Gaji pensiun pas-pasan. Tak ada tambahan, selain daripada honor tulisan dan penjualan buku tulisannya sendiri. Keluarga berusaha sekeras hati.
Beruntung kabar soal sakitnya Bung Hatta, diketahui oleh Soekarno di Istana.  Sang kawan, yang belakangan menjadi rival politik itu, datang menjenguk. Maka datanglah Soekarno ke Paviliun Cendrawasih pada suatu hari. Sebuah pertemuan mengharukan. Antara dua tokoh yang bersisian, tapi duet merekalah yang menyebabkan kita merdeka.
Soekarno kemudian memerintahkan sejumlah dokter Istana membawa Hatta ke Swedia. Ditemani  Prof. Mahar Mardjono, Bung Hatta bertolak ke Swedia, dokter yang dianggap paling mumpuni. Seluruh biaya ditanggung negara.  "Wangsa, jaga baik-baik Bung Hatta," titah Soekarno kepada Sekretaris Pribadi Hatta, I Wangsa Widjaja, sebelum bertolak ke Swedia.
Di negeri jauh itu Hatta dirawat beberapa hari. Dan sembuh. Pria kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat, itu kemudian diantar pulang.  Dalam perjalanan pulang itu,  Hatta mengetahui masih ada uang yang tersisa. Biaya pengobatan di Swedia ternyata tak sebesar yang disiapkan Jakarta.
Merasa tak berhak dengan sisa uang tersebut, Hatta memerintahkan Wangsa mengembalikan uang itu ke negara.  Dia menegaskan bahwa uang itu adalah milik negara. Sebagai seorang mantan Wakil Presiden yang bersusah payah memerdekan negeri ini,  negara pastinya takkan pernah meminta sisa uang transportasi itu. Bung Karno, yang jadi rival politik tapi berkawan bagai saudara itu, juga tak mungkin meminta.
Tapi Hatta sudah berkukuh.  Pantang untuk menggunakan uang negara satu sen pun. Baginya, uang negara adalah milik negara. Bukan untuk dihamburkan untuk kesenangan pribadi.
Kisah sisa uang akomodasi Mohammad Hatta  ini, dikenang banyak  orang, bukan saja sebagai inspirasi tentang kejujuran, tapi juga rujukan tentang bagaimana mencintai negeri. Mulai dari sendiri. Dari cara kita memperlakukan uang negara.
Kejujuran, seperti yang dilakukan Bung Hatta, rasanya sudah jadi barang langka hari-hari ini. Terutama mereka yang memangku kekuasan. Hampir tiap bulan, kita disuguhi tentang berita korupsi. Menteri yang tadinya gagah wibawa dengan jas, dalam hitungan bulan tersuruk berseragam tahanan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tapi di tengah perilaku sejumlah elit yang memalukan itu, sesungguhnya kejujuran seperti yang dilakukan Bung Hatta itu masih hidup. Carilah ke orang-orang biasa. Dengan kehidupan yang serba pas-pasan, kejujuran menjadi barang langka bagi kelas masyarakat ini.

E.     Kisah Orang Tidak Jujur
Kisah Nyata: Gagal Naik Haji Karena Tidak Jujur Pada Istri

Kebaikan harus disampaikan dengan cara yang baik pula. Kebaikan yang dipasarkan dengan cara yang kurang baik apalagi buruk, akan berakibat fatal; baik bagi pelaku maupun objek kebaikan. Selayaknya dakwah yang berarti mengkampanyekan kebaikan, tatkala disampaikan dengan serampangan apalagi kekerasan, maka akibat fatalnya akan menimpa sang dai dan dakwah secara umum, juga penolakan dari objek dakwah.
Tersebutlah seorang suami yang biasa dipanggil Abah. Beliau adalah suami yang baik. Seorang petani yang juga pedagang padi. Beliau terbiasa membeli padi dari pemilik sawah di kampungnya, menyelipnya, kemudian menjualnya kepada masyarakat. Sebab amanahnya dalam berdagang, usahanya maju dan cukup dikenal oleh petani di luar kampungnya.
Tergolong muslim yang taat, Abah pun berniat menjalankan Ibadah Haji di Tanah Suci Makkah al-Mukarromah. Inilah ibadah unggulan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mampu, baik materi maupun non materi berupa ilmu, kesehatan dan sebagainya.
Guna mewujudkan niat mulianya itu, Abah mulai menyisihkan penghasilannya. Kala itu, belum banyak Bank yang menerima penyimpanan uang seperti sekarang. Alhasil, guna menghemat waktu mendatangi Bank, Abah menyimpan uangnya dalam sebuah celengan yang terbuat dari bambu.
Dari sebatang bambu, dipotonglah satu ruas, kemudian bagian tengahnya diberi lubang untuk memasukkan uang. Bentuknya persis seperti kotak amal yang ada di masjid-masjid, namun celengan ini berbentuk bulat.
Hari demi hari, tabungan Abah semakin bertambah. Beliau menghitung setiap uang yang dimasukkan dalam celengannya agar mengetahui jumlahnya, dan bisa diketahui jika ternyata ada orang yang mencuri uang dari celengannya itu.
Abah merahasiakan apa yang dilakukannya dari seluruh anggota keluarganya, termasuk dari sang istri. Sebab itulah, sang istri kadang ‘ngedumel’ sebab jatah hariannya berkurang. Apalagi secara jelas terlihat bahwa usaha suaminya tengah menanjak. Sehingga timbullah pertanyaan, “Digunakan untuk apa uang hasil berdagang?”
Setelah berbilang tahun, dalam hitungan Abah tabungannya sudah cukup untuk disetorkan ke Bank. Lantas, beliau berniat membukanya. Niatnya, selepas dibuka, Abah hendak menunjukkannya kepada sang istri sebagai kejutan. Kemudian keduanya akan berangkat menuju Bank sembari berboncengan mesra untuk mendaftar sebagai peserta jama’ah haji tahun itu.
Diambil lah sebilah parang untuk membelah celengan bambu menjadi dua. Namun, ketika celengan itu terbelah secara sempurna, mata abah melotot tak berkedip. Keningnya berkerut, telinganya memerah, sekujur tubuhnya merinding, perasaannya bergemuruh tak karuan.
Sebabnya, seluruh uang di celengan bambu itu dimakan rayap. Anehnya, dari setiap lembar uang, yang dimakan rayap hanya separuh bagian, tidak seluruhnya.
Lepas mengumpulkan sisa tenaga, Abah pun mendatangi istrinya dengan langkah gontai. Ia mengumpulkan seluruh keluarganya, kemudian menyampaikan apa yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun itu. hingga akhir hayat, Abah belum sempat menunaikan Ibadah Haji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar